KOPASSUS, Pasukan Baret Merah kita memang punya segudang pengalaman operasi. Salah satunya adalah sebuah kisah saat sebuah regu baret merah dikirim untuk menangkap pihak yang diduga memasok senjata ke Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui Papua Nugini pada era tahun 1980-an.
Seperti operasi pasukan khusus pada umumnya, operasi ini pun tidak terekspos ke publik, dan tidak dikonfirmasi oleh pihak TNI sendiri. Kisah ini pertama kali dimuat dalam buku “Kopassus : Inside Indonesia Special Forces” tulisan Ken Conboy pada 2003, dan juga dimuat dalam majalah Angkasa edisi koleksi Special Forces.
Saat itu pada tanggal 2 Oktober 1984, Pos Pasukan TNI di Muaratami, Kabupaten Jayapura, diserang gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berkekuatan 14 orang. Di pos itu ada 16 tentara dari Batalyon Infanteri 712 Kodam Merdeka yang sejak Mei 1984 lalu bertugas di sana. Serangan dadakan itu terjadi sekitar pukul 16.30 waktu setempat. Kontak senjata itu disiarkan Radio Australia. Radio ini juga menyiarkan kontak senjata antara TNI dan OPM di wilayah Papua Nugini (PNG).
Dalam pertempuran itu, seorang anggota OPM tewas. Mayatnya ditinggal lari teman-temannya. Pada mayat yang mengenakan kaos bergambar peta PNG ini ditemukan sebuah bom tangan dan sepucuk senapan AKS-74 buatan Uni Soviet. Senapan dan bom itu semuanya baru. Adanya bom dan senapan baru itu menimbulkan pelbagai pertanyaan. Dari mana OPM memperoleh berbagai senjata baru itu? Siapa yang mengirimkan senjata tersebut?
Panglima Kodam Cenderawasih saat itu, Brigjen Raja Kami Sembiring Meliala, mendapatkan laporan intelijen bahwa beberapa kali ada helikopter yang datang dengan pintu terbuka di dekat kamp pelintas batas di Blackwater, dekat Vanimo, PNG. Helikopter tersebut membuang bahan makanan juga peti panjang yang diduga berisi senjata, termasuk penumpang helikopter yang berkulit putih. Artinya, bukan orang Papua atau PNG.
Kemungkinan adanya pengiriman senjata untuk OPM memang tidak mustahil, tetapi kecurigaan itu harus dibuktikan.
Memang keterlibatan pihak-pihak tertentu di Australia yang secara pribadi membantu OPM sudah lama diketahui. Pemerintah Australia terus menyangkal keterlibatan tersebut. Apalagi, ada unsur militer yang terlibat mengirimkan senjata ke OPM untuk menyerang TNI. Pemerintah Indonesia kemudian meminta penjelasan kepada otoritas PNG. Jawabannya, mereka mengaku tidak tahu menahu soal adanya dugaan pengiriman senjata untuk OPM di wilayah PNG.
Pangdam Brigjen Sembiring Meliala kemudian melaporkan masalah ini ke Mabes TNI (ABRI). Panglima TNI (ABRI) Jenderal LB Moerdani memutuskan untuk mengambil langkah sendiri untuk mengidentifikasi siapa dan negara mana yang melakukan hal itu. Caranya dengan menyusupkan pasukan komando masuk ke wilayah PNG tanpa permisi. Tugas tersebut lalu dipercayakan kepada Detasemen 81 Kopassus yang saat itu dipimpin oleh Mayor Infanteri Prabowo Subianto sbg komandan operasi. Sasaran mereka adalah suatu lokasi di wilayah PNG, sekitar 50 km dari tapal batas perbatasan dengan Indonesia. Pasukan ini berangkat dari Jayapura naik helikopter, kemudian sampai di suatu tempat dan melanjutkan misi dengan perahu karet agar tidak terdeteksi otoritas PNG.
Perjalanan dini hari menggunakan perahu karet menuju lokasi sasaran terhadang oleh besarnya ombak di perairan sebelah utara PNG. Seorang anggota Kopassus sampai terluka cukup parah untuk mempertahankan perahu dari terjangan ombak. Akhirnya, mereka berhasil sampai di titik pendaratan dan langsung bergerak menuju lokasi sasaran.
Pasukan komando ini segera mencari tempat-tempat yang dicurigai sebagai lokasi penimbunan pasokan senjata. Tetapi, hasilnya nihil.
Tugas operasi belum selesai, mereka harus bisa mendapatkan bukti seperti perintah dari Jakarta. Mereka pun melanjutkan tugas rahasia tersebut. Setelah menunggu selama dua hari dua malam, akhirnya mangsa yang ditunggu muncul dengan cara sembunyi-sembunyi. Dua orang kulit putih muncul dari balik rimbunnya hutan PNG. Mereka tanpa sadar melintasi posisi pasukan Kopassus yang sedang mengintainya. Tanpa membuang waktu, kedua bule ini pun ditangkap. Setelah diperiksa dan diinterogasi, keduanya mengakui sebagai agen Australia.
Mereka juga menunjukkan lokasi tempat helikopter Australia yang memasok senjata dan amunisi untuk OPM. Kedua agen Australia itu kemudian dibawa secara rahasia ke wilayah Papua, Indonesia. Kemudian, keduanya ditahan di Jakarta. Pemerintah Indonesia memberitahukan kepada Pemerintah Australia soal keterlibatan agen Negeri Kanguru itu dalam memasok senjata untuk OPM di wilayah PNG. Beberapa bulan kemudian, keduanya diekstradisi ke Australia.
Australia malu mengetahui agennya tertangkap. Sejak saat itu, Australia tidak berani bertindak macam-macam lagi. Mereka tidak menyangka kalau Kopassus mampu melakukan operasi jauh di dalam wilayah musuh. Bahkan, tidak menutup kemungkinan Kopassus juga bisa beroperasi di pedalaman Australia tanpa terdeteksi.
Inilah yang kemudian membuat tentara Aussie segan terhadap TNI dan Australia menghormati Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar